20 Juli 2012, sore hari bersama 3 teman kantor mengunjungi Mall Grand Indonesia untuk mencari kebutuhan acara kantor dan sebelum pulang, tiba-tiba seorang teman yang "hari gini" banget (@pitypiluss) yang fashionable dan hampir seperti google berjalan mengatakan kalimat yang +/- seperti ini "Kadang-kadang kita suka sangat sibuk sendiri sampai kita tidak sadar orang tua kita sudah menjadi tua, dan ketika sadar, (mungkin)mereka sudah tidak ada atau sudah sangat tua untuk bisa menikmati kebersamaan dengan kita". Kalimat ini benar sekali dan sangat menunjukkan pola hubungan orang tua dan anak yang ketika masih kecil, kemana-mana harus selalu ada orang tua, kalau tidak, rasanya takut dan menangis memohon untuk ditemani. Seiring berjalannya waktu, ketika kita remaja, kita mulai memiliki lingkaran pertemanan yang membuat kita merasa pertemanan tersebut menjadi seperti keluarga sendiri yang membuat kita bersedia membagi cerita kita ke pertemanan tersebut namun tidak ke orang tua kita. Kita mulai membuat batasan (privasi). Ketika mulai lebih dewasa lagi, kita mulai sibuk kerja dari pagi sampai malam suka berpikir bahwa kita sudah mandiri, dewasa sehingga ucapan orang tua kadang bukan hanya tidak di dengar namun juga dibantah. Fase berikutnya, bertemu dengan pasangan hidup, menikah dan membangun keluarga sendiri membuat kita sibuk dengan keluarga kecil kita sendiri dan mulai melupakan orang tua kita. Mungkin diawal pernikahan, kunjungan ke rumah orang tua bisa dilakukan seminggu-dua minggu sekali, namun ketika usia pernikahan semakin bertambah, maka kunjungan pun mulai berkurang sampai akhirnya mungkin beberapa bulan sekali atau bahkan setahun sekali. Dan ketika anak kita sudah bertumbuh menjadi remaja, kita sudah mulai tua dan mulai merasakan jarak antara anak kita dengan kita, maka tiba-tiba terlintas pikiran tentang orang tua kita. Tiba-tiba kita tersadar "Eh, mama papa lagi ngapain?apa kabarnya ya?", dll. Mulai muncul kembali perasaan ingin berhubungan lebih dekat lagi ke orang tua kita. Saat Perasaan ingin menjadi lebih dekat lagi muncul, mungkin saja orang tua kita sudah sangat tua, sudah memiliki penyakit yang mengurangi kenyamanan hidup mereka atau bahkan mungkin sudah meninggal maka kita akan mulai merasa sedih dan menyesali tindakan kita selama ini yang terlalu cuek terhadap mereka dan kita akan menangis tersedu-sedu ketika harus mengantarkan orang tua kita untuk kembali ke sisi-Nya.
Pola hubungan orang tua dan anak diatas akhirnya membuatku berpikir mengenai "kenapa kita harus menangis ketika orang tua kita meninggal?", karena meskipun kita menangis tersedu-sedu sampai ukuran mata menjadi dua kali lipat dibandingkan ukuran normal, hal itu tidak akan bisa membawa orang tua kita hidup kembali. Meskipun kita merasa sangat menyesal karena tidak memberikan kasih sayang kepada orang tua kita semasa hidupnya, hal itu juga tidak akan membawa orang tua kita kembali karena semua sudah berlalu dan tidak bisa kita putar kembali. So kenapa mesti menangis? kenapa kita tidak mengantarkan kepergiaan orang tua kita dengan senyuman (ketulusan)?. Senyuman (ketulusan) bukan berarti karena kita bebas dari beban ataupun hal lainnya. Tapi senyuman (ketulusan) yang sadar bahwa kita sudah melakukan semua hal baik bersama orang tua kita, tersenyum bahwa orang tua kita telah mengalami hidup yang sangat bahagia dan sekarang saatnya beliau melanjutkan perjalanan mereka berikutnya. Senyuman yang memberikan ketenangan bagi orang tua kita bahwa mereka telah berhasil dalam hidup mereka.
(ps: aku berpikir tapi aku juga belum bisa seperti ini 100%, tapi mari kita berusaha semaksimal mungkin)
Untuk tersenyum (ketulusan) seperti ini maka kita harus mampu memastikan bahwa setiap saat ketika orang tua masih hidup maka saat tersebut merupakan kesempatan bagi kita untuk membahagiakan mereka, untuk membawa senyuman di wajah dan hati mereka, menghilangkan kecemasan dalam pikiran mereka dan membantu mereka untuk selalu bertumbuh pengetahuan, kebijaksanaan dan kehidupan rohani mereka. Seperti dikutip dari nasihat Sang Buddha dibawah ini:
**********************
"Tidak berlebihan kalau dalam Aṅguttara Nikāya, Sang Buddha mengumpamakan ayah dan ibu laksana dewa, dewa tingkat tinggi, yaitu Brahma, dengan ungkapan, ”Brahma ti matapitaro”. Dalam sutta ini, Beliau pun menjelaskan bahwa orang tua, ayah dan ibu sebagai Pubba-achariya, guru awal, guru pertama bagi anak-anaknya.
ṅguttara Nikāya, Sang Buddha menyatakan; ”Saya nyatakan bahwa ada dua orang yang tak pernah bisa dibalas budinya. Siapakah keduanya itu? Ayah dan Ibu.”
Dalam bagian lain dalam Kitab A
”Walaupun seseorang menggendong ibunya di bahu kanan dan ayahnya di bahu kiri, dan saat melakukan ini ia hidup seratus tahun; jika ia melayani mereka dengan mengusapi mereka dengan minyak, memijat, memandikan, dan menguruti kaki dan tangan mereka, seandainya mereka buang air sekalipun, semua itu belumlah cukup yang dilakukannya terhadap orang tuanya, dan ia belum membalas budi mereka. Seandainya seorang anak menempatkan orang tuanya sebagai raja cakkavati yang memiliki tujuh harta, belum cukup juga yang ia lakukan kepada orang tuanya, ia belum membalas budi mereka. Mengapa demikian? Ayah dan ibu sungguh berjasa terhadap anak-anaknya: mereka melahirkan, membesarkannya, memberinya makan, dan menunjukkan dunia kepada anaknya.”
”Namun, seseorang yang mendorong orang tuanya yang tidak punya keyakinan, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam keyakinan; seseorang yang mendorong orang tuanya yang tidak bermoral, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kemoralan; seseorang yang mendorong orang tuanya yang kikir, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kedermawanan; seseorang yang mendorong orang tuanya yang tersesat dalam kegelapan batin, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kebijaksanaan. Anak seperti ini telah melakukan yang cukup bagi orang tuanya; ia telah membalas budi mereka dan lebih dari membalas budi terhadap apa yang dilakukan orang tuanya kepadanya.”
Karena itulah, berbahagialah kita sebagai anak yang masih memiliki orang tua, kita masih memiliki kesempatan untuk membalas jasa mereka. Tetapi bagi kita yang sudah tidak lagi memiliki orang tua, tidak perlu bersedih, masih ada bakti yang dapat kita tunjukkan kepada mereka dengan pelimpahan jasa (pattidana).
**********************
Betul sekali! Hear hear! Makanya, mari kita berbakti pada orang tua selagi masih bisa ^^ Ada tulisan yang terlalu kecil, bisa tolong diperbesar? Hahaha :D
ReplyDeletePasti bacanya pas bangun tidur makanya kecil...hahahahaha2x. udah di perbesar. thanx alot Steven
Delete